Tugas Terstruktur 02

REFIALDI FEBRIAN

(41324010022)

 TEKNIK MESIN

TAGLINE

Ngoprek Mesin , Ngegas dilapangan

Belajar dari Keberhasilan Starbucks dan Kegagalan Kodak: Analisis Wirausaha dari Perspektif Motivasi, Etika, dan Mindset

Pendahuluan

Dunia wirausaha penuh dengan kisah inspiratif dan peringatan pahit. Ada pengusaha yang sukses membangun kerajaan bisnis global dari ide sederhana, dan ada pula perusahaan besar yang runtuh karena gagal membaca perubahan zaman. Kedua sisi ini sama-sama penting dipelajari: keberhasilan menunjukkan strategi yang layak diteladani, sedangkan kegagalan mengajarkan kesalahan yang harus dihindari.

Tulisan ini membahas dua studi kasus yang kontras. Pertama, Starbucks, jaringan kedai kopi yang berhasil mentransformasi budaya minum kopi menjadi gaya hidup global. Kedua, Kodak, raksasa fotografi yang tumbang karena tidak beradaptasi dengan era digital. Analisis akan menyoroti motivasi, etika, mindset, serta pelajaran yang bisa dipetik oleh calon wirausaha.

*Studi Kasus Keberhasilan: Starbucks

- Latar Belakang

Starbucks didirikan pada tahun 1971 di Seattle, Amerika Serikat, oleh tiga orang sahabat: Jerry Baldwin, Zev Siegl, dan Gordon Bowker. Awalnya, Starbucks hanya menjual biji kopi berkualitas tinggi dan peralatan penyeduh kopi. Namun, transformasi besar terjadi ketika Howard Schultz bergabung pada tahun 1982. Setelah perjalanan bisnis ke Italia, Schultz terinspirasi oleh budaya kedai kopi di Milan, di mana kafe bukan hanya tempat minum, melainkan ruang sosial untuk bercengkerama.

Schultz kemudian mengubah konsep Starbucks menjadi kedai kopi modern yang mengedepankan pengalaman konsumen. Ide “third place”—tempat di luar rumah dan kantor untuk bersantai—membuat Starbucks berbeda dari pesaingnya. Kini, Starbucks memiliki lebih dari 38.000 gerai di seluruh dunia, menjadikannya salah satu brand paling ikonik di industri makanan dan minuman.

- Motivasi

Motivasi internal Starbucks, terutama melalui Schultz, adalah keinginan menciptakan pengalaman unik bagi konsumen. Bukan sekadar menjual kopi, tetapi menghadirkan nilai emosional dan sosial. Passion terhadap kopi berkualitas tinggi dan budaya komunitas menjadi fondasi utama.

Motivasi eksternal juga berperan besar. Pada 1980-an, pasar kopi premium di Amerika masih sangat terbuka. Meningkatnya kelas menengah dengan daya beli tinggi serta tren gaya hidup urban menjadi peluang emas bagi Starbucks untuk berkembang.

- Etika dan Tanggung Jawab Sosial

Starbucks dikenal aktif dalam menjalankan praktik bisnis beretika. Perusahaan menerapkan program Coffee and Farmer Equity (C.A.F.E.) Practices, yaitu standar pembelian kopi yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan petani.

Selain itu, Starbucks juga sering mendukung isu sosial, seperti inklusi tenaga kerja, pengurangan penggunaan plastik, serta pemberdayaan komunitas lokal. Walaupun pernah mendapat kritik (misalnya harga kopi yang mahal atau isu gaji karyawan), secara umum Starbucks berusaha menjaga citra etis dengan menyesuaikan kebijakan bisnisnya terhadap tuntutan konsumen global.

- Mindset

Howard Schultz dan Starbucks menunjukkan growth mindset. Mereka tidak berhenti hanya sebagai toko kopi kecil, melainkan terus berinovasi dengan menciptakan berbagai varian menu, layanan drive-thru, aplikasi digital, hingga sistem loyalitas pelanggan.

Starbucks juga memiliki opportunity-oriented mindset. Mereka melihat peluang di balik perubahan tren gaya hidup, lalu mengubah kopi dari produk komoditas menjadi simbol status sosial. Inovasi konsisten inilah yang membuat Starbucks mampu bertahan di tengah persaingan ketat.

- Dampak

Keberhasilan Starbucks memiliki dampak luas.

Ekonomi: menciptakan jutaan lapangan kerja global.

Sosial: mengubah cara masyarakat menikmati kopi, dari sekadar minuman menjadi pengalaman budaya.

Industri: mendorong lahirnya tren kedai kopi premium dan bisnis waralaba kafe di seluruh dunia.

*Studi Kasus Kegagalan: Kodak

- Latar Belakang

Kodak, yang berdiri pada 1888 di Amerika Serikat, adalah pelopor fotografi modern. Dengan slogan “You press the button, we do the rest”, Kodak mempopulerkan kamera yang mudah digunakan oleh masyarakat umum. Selama puluhan tahun, perusahaan ini mendominasi pasar kamera dan film fotografi, bahkan pada 1970-an menguasai lebih dari 80% pangsa pasar film dunia.

Namun, ironi besar terjadi. Kodak sebenarnya menemukan teknologi kamera digital pertama pada 1975 melalui salah satu insinyurnya, Steven Sasson. Sayangnya, manajemen mengabaikan inovasi ini karena takut merusak bisnis utama film fotografi yang sangat menguntungkan. Ketika era digital benar-benar datang, pesaing seperti Canon, Sony, dan kemudian smartphone mengambil alih pasar.

Kodak akhirnya mengajukan kebangkrutan pada tahun 2012, menjadi simbol klasik kegagalan perusahaan besar beradaptasi terhadap perubahan teknologi.

- Motivasi

Pada masa jayanya, motivasi internal Kodak adalah mempertahankan dominasi pasar dan keuntungan dari film fotografi. Namun motivasi ini justru berubah menjadi jebakan, karena mereka lebih fokus pada mempertahankan status quo daripada menciptakan terobosan baru.

Motivasi eksternal seharusnya datang dari perubahan konsumen yang menginginkan solusi digital yang lebih cepat dan praktis. Sayangnya, Kodak gagal merespons. Alih-alih beradaptasi, mereka justru mengabaikan sinyal pasar dan mengandalkan keuntungan jangka pendek.

- Etika dan Tanggung Jawab Sosial

Kodak tidak banyak dikenal dengan skandal etika besar, tetapi kesalahan mereka lebih pada etika strategis. Perusahaan menahan inovasi digital karena khawatir mengorbankan bisnis film. Keputusan ini menunjukkan orientasi sempit pada keuntungan, bukan pada kebutuhan konsumen.

Akibatnya, banyak konsumen merasa ditinggalkan, dan perusahaan kehilangan relevansi sosial. Bagi ribuan karyawan, kegagalan Kodak juga berarti kehilangan pekerjaan, yang menunjukkan lemahnya tanggung jawab manajemen terhadap keberlangsungan usaha jangka panjang.

- Mindset

Kodak memperlihatkan fixed mindset. Mereka yakin dominasi film fotografi akan bertahan, sehingga enggan berinvestasi penuh di teknologi digital. Mentalitas ini membuat Kodak lambat berinovasi dan akhirnya tersingkir.

Sebaliknya, pesaing dengan growth mindset—seperti Sony dan Canon—berani mengambil risiko masuk ke digital, meski awalnya penuh ketidakpastian. Perbedaan mindset inilah yang membuat Kodak kehilangan momentum.

- Dampak

Kegagalan Kodak berdampak luas.

Ekonomi: ribuan karyawan terkena PHK, perusahaan kehilangan nilai pasar miliaran dolar.

Sosial: masyarakat beralih ke teknologi baru dan meninggalkan produk Kodak.

Industri: Kodak menjadi peringatan keras bahwa inovasi harus selalu diutamakan, bahkan jika mengorbankan bisnis lama.

- Analisis Perbandingan

Kedua studi kasus ini memperlihatkan kontras yang tajam. Starbucks berhasil karena memiliki motivasi kuat untuk memberikan nilai lebih dari sekadar produk, mengedepankan etika, dan menunjukkan mindset terbuka terhadap inovasi. Sebaliknya, Kodak gagal karena terlalu terpaku pada keuntungan jangka pendek, mengabaikan perubahan kebutuhan konsumen, dan menunjukkan fixed mindset yang menolak beradaptasi.

Starbucks mampu membaca tren global bahwa kopi bisa menjadi gaya hidup, lalu membangun pengalaman pelanggan yang konsisten di seluruh dunia. Kodak, meskipun memiliki teknologi digital lebih awal, gagal mengeksekusi karena takut merusak bisnis lama. Perbedaan utama ada pada mindset dan keberanian mengambil risiko.

Dari sisi etika, Starbucks menempatkan tanggung jawab sosial sebagai bagian dari strategi bisnis, sementara Kodak justru mengabaikan kewajiban moral untuk memberikan yang terbaik bagi konsumennya. Hasilnya jelas: satu perusahaan menjadi ikon global, satu lagi menjadi pelajaran sejarah.

- Kesimpulan dan Rekomendasi

Pelajaran Penting

Motivasi harus seimbang antara internal dan eksternal. Passion sangat penting, tetapi harus diiringi kepekaan terhadap kebutuhan pasar. Starbucks memadukan keduanya, Kodak gagal membaca sinyal eksternal.

Etika dan tanggung jawab sosial memperkuat keberlanjutan. Konsumen kini menilai bukan hanya produk, tetapi juga nilai yang dibawa perusahaan.

Mindset menentukan arah masa depan. Growth mindset mendorong inovasi berkelanjutan, sementara fixed mindset membawa stagnasi.

Jangan takut mengorbankan bisnis lama. Kodak adalah contoh bahwa mempertahankan status quo bisa berujung fatal.

Rekomendasi untuk Calon Wirausaha

Jangan hanya fokus pada keuntungan jangka pendek, tetapi pikirkan keberlanjutan jangka panjang.

Bangun etika bisnis sejak awal, karena kepercayaan konsumen adalah aset paling berharga.

Miliki growth mindset: anggap perubahan sebagai peluang, bukan ancaman.

Terus belajar membaca tren dan berani mengambil risiko, bahkan jika itu berarti meninggalkan model bisnis lama.

Sumber

Schultz, H. (2011). Onward: How Starbucks Fought for Its Life without Losing Its Soul.

Starbucks Coffee Company. (2022). Global Responsibility Report.

Sasson, S. (2012). Wawancara dengan New York Times tentang penemuan kamera digital di Kodak.

Business Insider. (2012). How Kodak Went Bankrupt.

Harvard Business Review. (2016). Why Kodak Failed.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Kewirausahaan Era Revolusi Industri 4.0: Tantangan dan Peluang

Tugas Mandiri 02